a triangle
Inilah janji gue. Jangan muntah-muntah yaph. Judulnya belom oke, gue masih binun.
“Manis nggak?”
“Oh, ya, manis banget,” jawab Melissa cuek. Kepalanya terkulai dan pipi kanannya menempel di atas meja, membuat wajah bulatnya tampak seperti ikan mas koki.
“Kok lo gitu sih ama gue,” omel Anna sambil mendorong pelan bahu sahabatnya itu.
“Mau lo apa? Ngga usah liat juga gue harus bilang manis, cakep, cantik, imut de el el
“Apaan tuh? Modul kelas tiga SMP? Ketabrak sapi lo ya?”
“Ngga, gue keinjek Einstein. Ya ngga lah. Gue cuma pengen terlihat pinter,” ungkap Melissa asal.
“Ya tapi
“Gue udah ngerjain itu. Sekarang gue mau balik ajah ke kelas tiga es-em-pe.”
“Mel, gue tahu lo nyesel dulu ngga belajar dengan rajin, makanya…”
“Lu ngomongin diri lo sendiri ya.”
“Iya, iya. Maksud gue, ajarin temenmu yang imut ini.”
Melissa terkekeh geli kemudian mengeluarkan sebuah pensil dan sebuah penghapus dari tempat pensilnya.
✧✧✧
“Mel, gue pinjem buku latihan matematika lo dong.”
“Nih.”
“Sippp...bener semua
“Tahu deh. Gue kemaren ngerjainnya sambil maen congklak.”
“Melissaaa…woiii…”
Kepala gadis itu mendongak sambil menutup kedua telinganya.
“Manggil orang
“Soriii,” Muka Rion masih cengengesan, “Kok muka lo kusut gitu?”
“Gue cuma keasyikan maen uler tangga tadi malem.”
“Oooh,” Dengan tampang pura-pura bego Rion mengiyakan, “Laen kali kalo lo mau maen ajakin gue yah? Dari kecil gue paling suka ama yang namanya uler tangga.”
“Boleh. Bawa uler sama tangganya sendiri dari rumah yah.”
Rion merengut seperti anak kecil. Sindirannya malah dibalas demikian oleh Melissa.
“Bilang aja, Mel, gue mau bantu kok,” Rion senyum-senyum sengaja dimanis-maniskan.
“Lo mau bantu gue?” Nada suaranya yang sejak tadi selalu datar dan lesu mendadak naik, “Boleh. Tapi lo jangan senyum-senyum kayak gitu. Jijik.”
✧✧✧
“Mel, lo kenapa ada aja waktu buat ngurusin nih barang neraka yang jatuh ke bumi? Cari cowok kek,” cetus Anna sambil menghapus coretan-coretan di kertas modul milik Melissa.
“Trus kalo udah ketemu cowoknya, diapain?” Melissa memberi tampang sok polos.
“Digoreng tepung. Ya ngga lah. Jangan pura-pura ngga ngarti gitu dong Mel,” Tangan Rion masih bekerja, mengusap permukaan kertas dengan penghapus, meniup sisa penghapus, lalu mencari halaman lain yang tercoreng-moreng, “Gila, ni modul lu pinjemin ke anak TK yah?”
“Iyah, gue lupa kalo dia bilang dia ngga dikasih nyorat-nyoret tembok di rumahnya. Emang kenapa gue harus cari cowok?”
“Katanya lo pengen…”
“Gue bantuin deh. Lo mau anak basket, anak bola, anak ayam, anak sapi…”
“Anak sapi ajah. Yang mukanya bulet kayak gue yah.
“Yang mukanya kotak juga ada. Segitiga juga banyak.”
“Ah, lo, ngikutin si Mel ngalor ngidul juga!” Anna memukul kepala Rion dengan gulungan kertas modul.
“Kenapa sih lo berdua pusing urusan gitu? Yang penting
“Itu namanya nggak laku!” tegas Anna.
“Itu mah impian lo, Mel! Gue sih…kagak sangguuup…” timpal Rion.
“Gue
Rion dan Anna benar-benar merasa tersindir. Keduanya memasang wajah cemberut, namun tetap mengerjakan tugasnya masing-masing.
Melissa tersenyum. Ia merangkul bahu kedua sahabatnya.
“Gue udah seneng banget dan cukup pusing juga kok dengan punya kalian. Lagian Rion juga belum…”
“Itu mah urusan tampang. Lo
“Kata siapa? Rion manis kok…” Melissa melempar ekspresi sok imut. Pipi Rion memerah sekalipun yang memujinya adalah Melissa, gadis yang sudah ia kenal sejak dulu.
“Manis kayak burung onta…” lanjut Melissa tersenyum lebar.
✧✧✧
“Doorrr….!!!”
Belum habis keterkejutan Melissa, Rion gantian muncul dari belakang dan mendorong tubuhnya.
“Mel, kok akhir-akhir ini lo suka bengong?” ujar Anna buru-buru, takut gadis berpotongan rambut rata itu marah.
“Bengong…ngong…ngong…” Rion pura-pura menggemakan suara Anna, “Bengong tuh ngga baik tahu. Memperburuk kesehatan struktur sosial karena adanya salah satu individu yang berubah menjadi tak berguna! Benda statis! Abiotik!”
“Cukup teori lo,” tukas Anna, “Lo lagi mikirin apa, Mel?”
Rion ikut mengamati apa yang dari tadi dilihat Melissa.
“Oh…Waduh…”
“Mel…lo lagi…”
“Ngga…” Ajaibnya Mel tidak marah, “Gue berpikir betapa Mario itu keren.”
“Kenapa?”
“Dia ada ‘isi’nya. Ngga cuma pacaran dan maen PS melulu.”
“Oooh…”
“Gue jadi suka sungkan kalo ngomong sama dia.”
“Masa’?”
“Mel, gue bantu lo ngedeketin dia yah!” cetus Anna tiba-tiba, “Lo suka dia
“Nah, itulah, gue bingungnya di situ.”
“Bingung apa lagi? Sudah ada tanda-tanda itu! Tak bisa dipungkiri lagi!”
“Gue bingung gue tuh suka dia ato ngga.”
✧✧✧
Melissa memegang sepotong kertas catatan kecil dan kumal yang ia dapat dari Anna dan Rion.
“Mmm…’Cara-Cara Termudah untuk Mendekati Mario’…Gue waras ngga ya pengen ngedeketin dia…nanti pelajaran gue gimana…”
Ia terus berjalan sambil membaca kertas itu.
Dan ternyata itu adalah pilihan buruk.
“Aduh!”
“Eh, maaf! Aku nggak lihat…”
Itu Mario.
“Nggak apa-apa
“Oh, ya, makasih.” Melissa berusaha tidak memandang wajahnya.
“Ini
“Oh, nggak, justru dia baru kembaliin, hehe.” Iya, setelah itu seumur hidup nggak akan gue pinjemin ke siapa-siapa lagi, batin Melissa.
“Kamu unik ya. Punyaku aja udah dibuang.”
“Iya…habis ini banyak gambar-gambarku waktu dulu.”
“Boleh liat nggak?”
“Hehe, nggak. Udah ya, aku pulang dulu. Bye.” Melissa mengambil tumpukan kertas itu dari tangan Mario dan bergegas pergi.
Dan gadis itu meninggalkan secarik kertas catatan kecil dan kumal di lantai.
✧✧✧
“Gimana Mel? Udah dipraktekin belum?” sapa Anna yang tiba-tiba datang.
“Wah, kayaknya kertasnya ilang,” kata Melissa santai.
“Nggak niat banget sih lo, Mel! Keburu diambil orang, jangan nangis di pundak gue yah!”
“Siapa juga yang bakal nangis.”
“Ya udahlah kalo dia ngga mau. Sekarang, keluarin buku latihan kimia lo!” seru Rion mengalihkan pembicaraan.
“Kami berdua ada kemajuan lho, sekarang bukan mau nyalin tapi mau cocokin jawaban!” tambah Anna.
✧✧✧
Melissa sudah melupakan nasib kertas kecil dan jelek itu. Anna dan Rion juga sudah lebih rajin mengerjakan PR dan tidak menanyakan soal Mario lagi. Ia tampak sudah mendapatkan kembali sifat aslinya.
“Mel…mmm…aku boleh ngomong sebentar sama kamu?”
“Sure. Kapan? Sekarang?”
“Pulang sekolah,
“Oke.”
Saat punggung Mario sudah menjauh, Anna dan Rion segera menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan.
“Ngomong apa dia Mel?”
“Mau pinjem buku matematika? Fisika? Kimia?”
“Dia mau nyogok lo supaya ngasih contekan selama satu tahun ajaran?”
“Dia ulang tahun? Dia mau nraktir kita? Di hotel bintang berapa?”
Melissa menghentikan deretan kata-kata itu dengan sebuah pekikan keras melengking yang sangat tidak biasa mengingat nada bicaranya yang sering datar-datar saja.
“Gue ngga tahu dia mau apa! Dia cuma mau ngomong nanti abis pulang sekolah,
“Oooh…” Anna dan Rion saling berpandangan dengan muka tak bersalah, lalu cekikikan ngga jelas dan saling mengedipkan mata.
✧✧✧
“Mau ngomong apa sama aku?”
“Mmm…”
Apa sih, cepetan napa! Gue mau ikut bimbel nih, pikir Melissa.
“Dari dulu aku uda ngamatin kamu terus Mel…”
“Terus…?”
“Mau jadi pacarku ngga?”
“Ngga.”
Anna dan Rion yang bersembunyi di balik tong sampah hampir memekik bersamaan setelah mendengar jawaban lugas itu, namun mereka berhasil membekap mulut dengan tangan masing-masing.
“Ngga mau? Terus ini apa?” Mario mengeluarkan sepotong kertas yang udah makin butut saja.
Melissa tertawa terbahak-bahak.
“Hahahahaha…kamu tuh kege-eran banget sih!”
Kening Mario berkerut.
“Yang aku pengen deketin itu bukan kamu, tapi kucing punya tetangga! Namanya juga Mario! Dia tuh kalo aku dateng ke rumahnya pasti aku dicakar! Nih liat bekasnya!” Melissa menggeser letak jam tangannya.
“A…Apa?”
“Biarpun kucing tapi
Sementara itu Rion dan Anna menerjang keluar dari tempat persembunyiannya tetapi Melissa menghindar sedemikian rupa sehingga keduanya jatuh terjerembab.
“Mel, lo kasih badan lo buat kita dikit napa?” protes Rion yang ditindih Anna, “Gendut banget sih lo Na!”
“Emang enak?” kata Melissa cuek abis.
“Mel, lo harus jelasin ke kita, kenapa lo segitunya sama dia!” seru Anna setelah berhasil menegakkan tubuhnya.
“Lho, emang gue ngga suka sama dia! Anyway, cerita kucingnya beneran tahu!”
“Nggak peduli gue sama kucing! Gue lebih suka kelinci! Dulu lo bilang lo suka!”
“Gini, gini,” Melissa memberi isyarat dengan tangannya supaya kedua temannya itu menyodorkan telinga masing-masing, “Kemaren gue liat dia ngamen di lampu merah pake tank top warna pink, eh ngga ding. Kemaren gue liat dia nyontek!”
“Kok lo tau?”
“Orang dia nyontek gue,” Melissa melipat tangan, mulai memperlihatkan kekesalannya, “Ternyata kepintaran dia hasil nyontek! Ogah gue! Seketika itu juga gue ill-feel sama dia!”
Kedua pengintip salah persepsi itu saling menatap, sampai akhirnya tawa mereka meledak.
“Makanya, gue
Labels: karir menulis seorang yessica
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home