cerpeeeen...
Knock, knock. Soren sedang duduk di tempat tidurnya, bersandar pada tembok saat mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya diikuti teriakan lain.
“Soren, c-cepat bangun...T-Tuan Herv m-memberikan…”
“Aku tidak tidur,” ucap Soren setelah mengagetkan Mathieu dengan membuka pintu tiba-tiba di tengah kata-katanya.
“…tugas baru untukmu…” Mathieu mengelus dada untuk menenangkan jantungnya, “Ka...kalau begitu...ini data tentang klienmu...”
Soren mengerutkan dahi lalu menerima buku bersampul putih di tangannya.
“C-cepat ya,” Mathieu buru-buru pergi, entah memang karena tak banyak waktu lagi atau ia takut melihat wajah seram Soren.
✧✧✧
“Selamat pagi.”
Soren menunggu sampai pemuda di depannya membalikkan kursi putar kulit berwarna hijau daun yang ia duduki ke arahnya. Ia lalu menjulurkan tangannya tanpa senyum.
“Soren. You’ve hired me.”
“Untuk apa? Untuk menjadi adikku?”
“Bodyguard,” Soren meyakinkan pemuda itu dengan pandangan matanya.
Pemuda itu menatap wajah serius Soren sambil memicingkan mata. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Darah Soren, tanpa disuruh, melejit hingga ke ubun-ubun.
“Seorang gadis,” katanya di sela-sela tawa, “Seorang gadis! Apa yang ayahku pikirkan sampai dia menyewa anak kecil sepertimu?”
Rasanya gadis berambut pendek itu ingin segera menembakkan peluru di sebuah titik berjarak lima sentimeter dari pipi pemuda itu untuk membuatnya diam.
“Dua puluh? Tujuh belas? Lima belas? Tiga belas tahun? Ayahku pasti begitu pelupa untuk mengingat bahwa putra keduanya, Lucien Harcourt, baru berulang tahun yang ke dua puluh tiga dua minggu lalu. Hari kelima bulan Mei,” Pemuda itu berhenti tertawa tapi masih menekan rasa geli di perutnya.
Soren hanya menghela napas, berharap ia dapat menguapkan seluruh kekesalannya.
“Atau mungkin kau yang berbohong padaku, Nona Muka Masam? Kau ingin berapa banyak uang? Berapa puluh ribu dolar?” Lucien melirik ekspresi kaku Soren.
Gadis berambut cokelat gelap itu akan senang hati mengikat leher Lucien ke tiang lalu memberangus mulut cerewetnya seperti anjing.
“Atau ia tidak suka menghabiskan terlalu banyak uang untukku, yang hanya adik putra kebanggaannya,” Nada bicara Lucien sedikit serius sekaligus pahit.
“Terima saja,” Soren memasukkan tangan ke dalam saku celana jeans hitamnya.
✧✧✧
“Siapa yang menyuruhmu mengajakku jalan-jalan di pelabuhan?” Lucien membuka pembicaraan di tengah dinginnya angin laut musim gugur. Ia lalu duduk di pagar pembatas tanpa diikuti Soren.
“Tak ada,” Soren mengangkat bahu tak peduli. Seharusnya aku tahu bahwa aku takkan mau.
“Wah, kau baik sekali,” ucap Lucien setengah sinis.
“Apa yang biasa kaulakukan di sini?” tanya Soren.
“Ini tempat kesukaanku—pelabuhan yang sudah tidak terpakai. Biasanya aku mengumpulkan kerang. Tapi aku sedang tak ingin. Lagipula cuacanya dingin sekali,” Lucien bergidik seolah membayangkan pasir bercampur air laut yang setengah membeku membelai hingga ke sela-sela jarinya, “Karena itu mari kita berbincang-bincang saja.”
Lagi-lagi Soren hanya mengangkat bahu.
“Berapa umurmu?”
“Dua puluh enam tahun.”
“Surprising,” Lucien mengangkat alis, “Apa nama belakangmu?”
“Tak ada.”
“Hobimu?”
“Entah.”
“Hewan peliharaan?”
“Apa itu?”
“Makanan favorit?”
“Aku tak suka makan.”
“Sahabat karib?”
“Mathieu?”
Ombak tiba-tiba datang begitu keras sehingga memercik ke pakaian mereka.
“Dia pacarmu?”
“Apa itu pacar?”
“Dia tampan?”
“Tampan?”
Lucien menghembuskan napas kuat-kuat, tanda menyerah.
“Sudah hampir senja. Kau harus pulang,” tukas Soren.
✧✧✧
“Sekarang kau boleh bertanya padaku,” kata Lucien keesokan harinya, di pelabuhan yang sama, duduk di atas pagar pembatas yang sama.
Soren mengedikkan bahu. Tak ada salahnya daripada aku mati bosan.
“Ayahmu menyebalkan?”
Lucien mengalihkan pandangan sejenak sambil berpikir, “Sedikit.”
“Kau ingin mengatakan ‘sangat’?”
Lucien sedikit terkejut. Ia menggelengkan kepala ragu tapi lalu mengangguk kuat-kuat.
“Ia mengacuhkanmu?”
Pemuda bermata biru laut itu mengiyakan dengan tatapan matanya.
“Mereka—ayah, ibu, kakak, adikmu—mengacuhkanmu?”
Lucien tertawa sumbang, “Kau tahu semua yang kupikirkan. Kau telah mempelajariku atau kau bisa membaca pikiranku?”
“Keduanya.” Tanpa sadar Soren tersenyum tipis. Pemuda ini tidak terlalu cerewet juga.
“I was a scientist,” Lucien memulai kisahnya, “Aku memaksa diriku untuk membuat penemuan-penemuan baru.”
“Untuk apa?”
“Untuk pujian,” Pemuda itu menerawang ke arah matahari yang memucat, “Pujian, pujian, dan pujian yang lain, dari ayahku.”
Soren mengganti tumpuan ke kaki kiri dan tampak jelas tak mengerti.
“Ayahku tak pernah—tak akan pernah—memujiku. Seumur hidupnya, dan seumur hidupku.”
Soren terdiam sejenak, berpikir betapa seringnya Herv memujinya. Wah, bersih sekali pekerjaanmu, Soren, kata Herv dengan wajah sumringah saat ia menyelesaikan tugas pertamanya. Kamu sudah belajar menggunakan tongkat, Soren? Hebat sekali, ucap Herv saat ia berumur lima belas tahun. Soren, ini kunci mobil barumu, seperti yang kujanjikan. Minta Shawn mengantarmu ya, ujar Herv ketika Soren berumur delapan belas tahun.
“Mengapa kau pikir kau begitu butuh pujian itu kalau bahkan ia tak pantas memujimu?”
“Dia ayahku, Soren, demi Tuhan, dia akan selalu menjadi ayahku!”
“Memangnya kenapa?” tukas gadis itu sedikit kesal, “Kau bisa beri pujian untuk dirimu sendiri!”
Lucien seperti enggan menjawab setelah digurui oleh Soren. Gadis itu menepuk bahu Lucien, ringan.
“Aku yang akan memujimu. Ayo pulang.”
Pemuda itu menatap punggung Soren setengah bingung setengah gembira, bagai telah melihat celah sinar.
✧✧✧
“Berapa lama kau sudah bersamanya?” tanya Herv di kantornya, bersama Soren.
“Dua puluh sembilan hari.”
“Kalau begitu sudah waktunya, Soren.”
“Waktu untuk apa?” Aura dingin menyergapnya dan untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa hanya seorang bawahan bagi Herv. Bukan anak emas.
“Sejak awal ini satu-satunya cara untuk melenyapkan putra Harcourt. Dekati dia, buat dia percaya dan tergantung kepadamu, lalu bebaskan dia dari penderitaan duniawinya,” Herv berjalan mengitari kursi yang diduduki Soren, “Aku sendiri yang menyarankannya pada Didier Harcourt, dan ia langsung setuju. Clever me.”
“Seperti biasa lakukan dengan bersih, dear Soren,” kata Herv lagi, “Besok pagi.”
✧✧✧
Soren terbangun dengan tubuh bersimbah keringat. Ia mendengar irama ketukan yang sama, lalu suara lirih Mathieu.
“Soren, c-cepat bangun...T-Tuan Herv m-memberikan…”
Pintu dibuka dengan sangat tidak sabaran di depan hidung Mathieu.
“Sekarang tanggal berapa, Mathieu?”
“Se...sembilan...belas...sembilan belas Mei...”
“Bukan 18 Juni?” Soren seolah berbicara pada dirinya sendiri, “Clear enough.”
Ia menyambar jaket yang tergantung di sisi belakang pintu kamarnya lalu saat hendak melesat menuju mobilnya, ia teringat akan dokumen bersampul putih di tangan Mathieu. Tanpa diduga remaja berumur sembilan belas tahun itu mempertahankan buku itu.
“Seriously, kiddo!”
“Ti...dak a...kan,” tegas Mathieu terbata-bata.
“Aku harus pergi dan aku membutuhkan ini,” Soren masih menarik buku itu dari tangan pemuda berambut keriting itu.
“Ka...kau tidak tahu...apa y-yang...akan kau...l-lakukan,” Mathieu menyentak dokumen itu sampai terlepas dari genggaman Soren, “A...aku...t-tidak akan...membiarkan...k-kau melawan T-Tuan Herv lagi,,” Ia mengguncang pelan bahu Soren seolah itu mampu membuatnya sadar.
“Kau yang tidak tahu apa yang akan kulakukan. Kau pikir kau tahu,” Soren menjawab lebih perlahan namun lebih jelas. Dengan satu gerakan cepat ia melayangkan tinju ke rahang juniornya itu lalu menancapkan jarum bius yang selalu tersimpan di lipatan lengan jaketnya. Ia mengambil dokumen itu lalu menyembunyikannya di balik jaket.
✧✧✧
Soren sudah memacu Cadillac Escalade hitam-nya secepat yang ia bisa namun ia masih merasa jauh di belakang waktu. Sekarang ia mengerti mengapa ia tidak ingat alamat rumah keluarga Harcourt maupun villa ‘pengasingan’ Lucien di dekat pelabuhan. Ia ingat suara deburan ombak, suara kepakan burung seagull, suara angin meniup layar-layar lusuh kapal tua, dan suara-suara lainnya namun ia sama sekali lupa di pojok dunia manakah itu semua berada. Benar-benar persis dengan mimpinya, tentang Shawn yang tewas setelah lima belas hari lalu ia melihat kematiannya dalam tidur.
Lampu merah menyala dan Soren akhirnya punya sedikit menit untuk membuka dokumen itu. Foto Didier Harcourt, Nadine Harcourt, Louis Harcourt, Cosette Harcourt, maupun Lucien Harcourt tertera di samping biodata mereka. Ia akhirnya menemukan alamat yang ia perlukan di sebuah halaman. Lampu hijau menggantikan si merah lalu Soren pun kembali menginjak pedal gas.
✧✧✧
Persis seperti yang telah ia perkirakan, gadis itu serasa melihat déjà vu. Ia mengacak sistem keamanan villa itu dengan lihai lalu masuk lewat jendela kamar Lucien.
Di sana pemuda itu tampak berkutat dengan kuas dan cat yang menari di atas kanvas. Soren menyadari betapa tertutupnya Lucien dan belum berpikir ke mana ia akan membawanya. Yang penting ia bisa menyembunyikannya. Setelah itu terserah dia.
Lucien, seperti bisa diduga, menatap Soren dengan sinar mata terkejut dan ekspresi tenang yang mampu membungkus semua perasaannya.
“Hai. Namaku Soren,” Soren menyapanya dengan datar, namun ia akhirnya menghiasinya dengan sedikit senyuman dan uluran tangan, “Ikutlah denganku.”
Labels: karir menulis seorang yessica
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home